Karena waktu tersita untuk PR, banyak belum dewasa tidak menerima cukup waktu untuk bergerak. |
Baca juga: Mendikbud Dukung Kebijakan Sekolah Tanpa PR
Belajar sambil bersenang-senang
Anak yang gres sekolah akan masih melewati banyak tahun untuk menuntut ilmu. Guru harus menciptakan belum dewasa menyukai sekolah dan belajar. Atmosfirnya harus dibentuk menyenangkan bukan malah membebani. Jangan hingga PR menjadi beban sehingga berguru menjadi hal yang menyebalkan.
Merusak Hubungan Jangka Panjang
PR dimaksudkan untuk mendekatkan dan melibatkan orang renta dalam pendidikan anak-anak. Tapi efeknya sanggup sebaliknya. Setelah hari panjang di sekolah, sesuatu yang mencangkup kata "pekerjaan" tak selalu menjadi apa yang diinginkan anak sebelum tidur. Orang renta dan anak malah sanggup bertengkar gara-gara PR dan menimbulkan traumatis.
PR memberi rasa tanggung jawab palsu
PR membantu belum dewasa menjadi lebih bertanggung jawab tapi ini hanya berlaku dikala mereka sudah masuk SMP. Tapi dikala orang renta harus mengingatkan belum dewasa mereka yang masih SD untuk mengerjakan PR setiap malam, tujuan awal ini pudar artinya. Masa kecil yaitu masa bermain.
PR sisakan sedikit waktu untuk jadikan anak-anak
Karena waktu tersita untuk PR, banyak belum dewasa tidak menerima cukup waktu untuk bergerak. Padahal, di usia dini, mereka harus melaksanakan kegiatan fisik, main di luar dan berolah raga dengan teman-teman. Guru dan orang renta sanggup mendorong belum dewasa untuk lebih sering melaksanakan acara menyerupai ini. Biarkan mereka kreatif dan berlatih fisik untuk menyebarkan diri.
Anak perlu istirahat biar produktif
Mengerjakan PR mencuri waktu istirahat belum dewasa SD. Anak-anak membutuhkan waktu rata-rata 10 jam tidur dalam sehari. Agar belum dewasa menjadi produktif 100% pada hari berikutnya di sekolah, mereka harus mempunyai waktu istirahat yang cukup.
Advertisement